BAB I
PENDAHULUAN
Ketika memahami mengenai Bimbingan
Konseling, yakni Proses interaksi antara konselor dengan klien/konseli baik
secara langsung (tatap muka) atau tidak langsung (melalui media : internet,
atau telepon) dalam rangka mem-bantu klien agar dapat mengembangkan potensi
dirinya atau memecahkan masalah yang dialaminya” hal tersebut tidaklah dapat
berjalan dengan baik tanpa adanya pengetahuan serta pengalaman yang baik dari
konselor.
Di dalam proses bimbingan dan
konseling perlu adanya beberapa hal yang dapat mendukung proses jalannya
bimbingan dan konseling dengan baik, salah satunya adalah dengan menggunakan
teknik-teknik di dalam proses BK.
Oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis akan membahas beberapa hal mengenai teknik-teknik yang dapat dilakukan
di dalam proses bimbingan dan konseling.
BAB II
PEMBAHASAN
TEKNIK- TEKNIK KONSELING
Kontak
mata:
Kontak
mata adalah pandangan pertama yang dilakukan oleh konselor terhadap klien dalam
proses pengkonselingan. Kontak mata yang
baik adalah dengan cara melihat kepada klien ketika dia sedang berbicara dan
menggunakan pandangan mata yang menunjukkan perhatian dan penerimaan penyuluh
terhadap klien. Tatapan yang tajam, pandangan hampa, atau menghindar dari
tatapan klien dapat membuat klien menjadi bingung. Orang cenderung menggunakan
lebih banyak kontak mata ketika mendengarkan daripada berbicara. Dimana dalam
kontak mata ini perlu kesesuaian terhadap kondisi klien, mencakup jarak,
posisi, aplikasi, respon, dan lain sebagainya. Kontak mata yang baik adalah
pandangan terhadap klien ketika dia sedang berbicara dengan menunjukkan
perhatian dan kepedulian untuk membantu klien dalam menyelesaikan masalahnya.
Kontak
pertama antara penyuluh dan klien sering mempunyai pengaruh yang menentukan
bagi kelangsungan pertemuan selanjutnya. Kontak mata terjadi pada awal
pertemuan dan saat proses pengkonselingan berlangsung.
Kelemahan
:
Konselor
yang sering mengadakan kontak mata dengan klien, terkadang membuat klien malu
dan enggan mengutarakan masalahnya.
Jarak duduk
Penyuluh sebaiknya duduk berhadapan
dengan klien dalam suasana bebas, santai, dengan jarak cukup memadai untuk
memungkinkan klien dapat merasa senang. Tangan penyuluh hendaklah tetap diam
dan wajah penyuluh hendaklah tetap diamdan wajah penyuluh hendaklah menunjukkan
suasana yang bersahabat. Duduk dengan membungkuk, mempermainkan sesuatu,
mempermainkan sesuatu, mengerutkan dahi atau terlalu banyak menggerakkan yang
tidak perlu dapat membuat klien merasa tidak menentu atau membingungkan.
Jarak duduk yang baik adalah dengan jarak kira-kira 1 meter dari klien karena jarak yang terlalu dekat
akan membuat klien terganggu atau engan menyampaikan masalahnya. Dan jarak yang
terlalu jauh akan membuat suara ataupun keluhan tidak terdengar jelas dan tidak
terjalin keakraban.
Ajakan
terbuka untuk berbicara
Jika
klien diajak untuk berbicara secara bebas dan tidak dihujani serangkaian
pertanyaan, dapat diharapkan dia akan mengemukakan masalahnya dengan baik.
Ajakan untuk berbicara ini sekaligus disertakan di dalam sikap, cara duduk, isyarat,
dan suara penyuluh. Kata-kata yang dipergunakan penyuluh adalah perwujudan dari
maksud yang ingin disampaikan oleh penyuluh. Penyuluh hendaklah berbicara
dengan penuh kehangatan dengan nada, dan kata-kata yang bersifat menerima
klien. Perlu diingat bahwa semuanya ini dilakukan secara wajar, tidak
dibuat-buat. Pernyataan yang bersifat olok-olok atau humor yang dibuat-buat
perlu dihindarkan. Kata-kata “khawatir”, sulit, atau masalah harus dipakai
sangat hati-hati. Dan kalau perlu tidak dipakai sama sekali, kecuali kalau klien sendiri memang
memakainya.
Terjadi
saat si klien dalam posisi tenang dan siap untuk mengadakan pengkonselingan.
Misalnya:
“Apa
yang dapat saya lakukan untuk membantu anda?”
“Ceritakan
kepada saya apa yang menyusahkan anda?”
“apa
yang sedang anda pikirkan?”
Klien: bu,
rasanya hari-hari saya selalu hampa dikejar-kejar rasa rindu sama si
dia, mata saya sepertinya basah terus dan suara saya pun tak bisa bagus lagi,
apalagi makan rasanya tak sanggup lagi kutelan karena besarnya rasa kegundahan
yang membuat semuanya terasa pahit. Apa yang harus kulakukan bu?
Kons:
iya , saya bisa merasakan yang anda alami nak! Tapi apa sebetulnya yang membuat kamu sampai segitunya?
Klien:
saya malu bu,,,
Kons:
gak usah malu,, semua manusia kan punya masalah, kalau kamu terbuka
menceritakan masalahmu, maka saya akan coba membantu kamu, tapi kalau kamu
tidak mau menceritakan,. bagaimana kita bisa menyelesaikan masalahmu.
Klien:
begini bu, saya punya hubungan sama seseorang yang dalam pandangan saya,. Orang
nya paling sempurna di dunia ini. Tapi karena satu hal orang tua saya tidak
mengizinkan saya punya hubungan sama dia, padahal dia baik, soleh, perhatian.
Tapi kehendak orang tua saya tetap harus diikuti, pernah saya berfikir untuk
mengakhiri hidup tapi saya sadar itu suatu dosa yang besar, tapi toh walaupun
aku hidup kebahagiannku sudah terampas, apa yang harus saya lakukan bu????
Hiks….
Kelemahan:
Seorang
konseli tidak dapat menggutarakan permasalahannya tanpa adanya stimulus dari
konselor.
Pertanyaan
yang telalu mengarah kearah keinti permasalahaan akan mengakibatkan konseli
sedih dan menambah masalah.
Mengikuti pokok
pembicaraan
Mengikuti pokok pembicaraan
memusatkan perhatian apa yang dikatakan oleh klien, tidak menyimpangkan atau
membelokan arah pembicaraan klien, atau menambah-nambah perhatian lain terhadap
isi pembicaraan selain yang di maksud.
Mengikuti pokok pembicaraan
digunakan pada tahap-tahap awal dari pertemuan ketika klien berhenti berbicara.
Dengan cara penuh perhatian, penyuluh menggunakan pertanyaan atau pertanyaan
singkat dalam membantu klien menjelajahi lebih lanjut pokok pembicaraannya. Hal
ini juga akan lebih menyadarkan klien bahwa penyuluh benar-benar mendengarkan
apa yang dikemukakan oleh klien. Misalnya:
“saya memahami apa yang dimaksud “
“Ceritakan
lebih banyak lagi tentang hal itu”
Kelemahan:
Pembicaraan
yang selalu mengikuti pokok pembicaraan akan menyebabkan proses konselingan
membosankan.
Karena
terlalu fokus pada arah pembicaraan akan menyebabkan konselor kadang kehabisan
kesabaran.
Pertanyaan terbuka
Pertanyaan terbuka yaitu teknik
untuk memancing siswa agar mau berbicara mengungkapkan perasaan, pengalaman dan
pemikirannya dapat digunakan teknik pertanyaan terbuka (opened question).
Pertanyaan yang diajukan sebaiknya tidak menggunakan kata tanya mengapa atau
apa sebabnya. Pertanyaan semacam ini akan menyulitkan klien, jika dia tidak
tahu alasan atau sebab-sebabnya. Oleh karenanya, lebih baik gunakan kata tanya
apakah, bagaimana, adakah, dapatkah.
Pertanyaan terbuka mengajak klien
untuk meneruskan pembicaraannya dengan memberikan lebih banyak uraian mengenai
hal yang telah dikemukakannya. Memulai pertanyaan dengan kata-kata Tanya
seperti apa? Kapan,? Dimana? Bagaimana? Mengapa? Adalah suatu cra untuk membuat
pertanyaan-pertanyaan itu terbuka.
Pertanyaan atau pernyataan terbuka
akan menghasilkan jawaban yang dapat dijadikan arah atau informasi yang berguna
untuk mengadakan tindakan lanjut, dan memungkinkan pula suasana percakapan itu.
Hal ini juga menunjukan bahwa dia bebas untuk mengemukakan isi pembicaraan
apapun yang di mauinya.
Pertanyaan terbuka terjadi pada tahap-tahap
awal pembicaraan.
Misalnya:
“bagaimana mengenai ibumu yang telah
banyak mengecewakanmu?”
“apakah anda merasa ada sesuatu yang
ingin kita bicarakan?”
” Apakah Anda merasa ada sesuatu
yang ingin kita bicarakan ? ”
Kelemahan : Kesempatan konselor untuk
berbicara sangat minim karena klien akan banyak bercerita yang membuat si
konselor hanya menjadi pendengar saja.
Pertanyaan
tertutup
Pertanyaan tertutup cenderung
menutup percakapan dengan hanya mengundang jawaban ”ya” atau “ tidak” saja.
Rangkaian pertanyaan dan pernyataan tertutup seperti ini seperti pertanyaan
penyidikan (interogasi) saja kedengarannya. Tujuan pertanyaan tertutup untuk:
Dalam konseling tidak selamanya
harus menggunakan pertanyaan terbuka, dalam hal-hal tertentu dapat pula
digunakan pertanyaan tertutup, yang harus dijawab dengan kata Ya atau Tidak
atau dengan kata-kata singkat. Tujuan pertanyaan tertutup untuk : (1)
mengumpulkan informasi; (2) menjernihkan atau memperjelas sesuatu; dan (3)
menghentikan pembicaraan klien yang melantur atau menyimpang jauh.
P ertanyaan tertutup terjadi,
saat klien tidak sanggup menahan emosi atau ekspresi yang berlebihan dari
masalah yang dihadapi.
Misalnya:
Klien : ”Saya berusaha meningkatkan
prestasi dengan mengikuti belajar kelompok yang selama ini belum pernah saya
lakukan”.
Konselor: ”Biasanya Anda menempati
peringkat berapa ? ”.
Klien : ” Empat ”
Konselor: ” Sekarang berapa ? ”
Klien : ” Sebelas ”
“kedengeraannya seolah-olah ibumu
mengecewakanmu.”
“apakah hal itu membuat kamu marah
pula?”
“ya.”
Oh, saya kira kamu ingin lari dari
rumah.”
“tidak.”
Kelemahan :
Inti masalah tidak akan terbuka
dengan baik
Informasi yang didapat dari klien
sangat minim, sehingga sulit mencari solusi.
Dorongan
minimal
Dorongan minimal adalah semua
isyarat, angkutan, sepatah kata atau suara tertentu, gerakan anggota badan,
atau pengulangan kata-kata kunci yang menunjukkan bahwa penyuluh mempunyai
perhatian dan ikut serta dalam pembicaraan klien. Cara ini memberikan
kesempatan dan kebebasan kepada klien untuk terus berbicara. Dorongan minimal
itu hendaknya digunakan sejak awal pertemuan dalam arus yang wajar dari seluruh
percakapan. Tujuan dorongan minimal bertujuan agar klien terus berbicara dan
dapat mengarah agar pembicaraan mencapai tujuan. Dorongan ini diberikan pada
saat klien akan mengurangi atau menghentikan pembicaraannya dan pada saat klien
kurang memusatkan pikirannya pada pembicaraan atau pada saat konselor ragu atas
pembicaraan klien.
Dorongan minimal adalah teknik untuk
memberikan suatu dorongan langsung yang singkat terhadap apa yang telah
dikemukakan klien. Misalnya dengan menggunakan ungkapan : oh…, ya…., lalu…,
terus….dan…
Tujuan dorongan minimal agar klien
terus berbicara dan dapat mengarah agar pembicaraan mencapai tujuan. Dorongan
ini diberikan pada saat klien akan mengurangi atau menghentikan pembicaraannya
dan pada saat klien kurang memusatkan pikirannya pada pembicaraan atau pada
saat konselor ragu atas pembicaraan klien.
Dorongan minimal ini dapat digunakan
secara efektif untuk menjaga kelangsungan pembicaraan klien dan menghindari
agar penyuluh tidak terlalu banyak berbicara yang dapat mengakibatkan klien
hanya menjadi pendengar saja. Jika hal ini (penyuluh) terlalu banyak berbicara)
terjadi, maka klien akan mudah menanggapi, “ini bukan mewawancarai saya. Dia
ingin mendengar suaranya sendiri, bukan suara saja.”
Terjadi selama
proses pengkonselingan berlangsung. Terutama saat klien menceritakan
masalahnya.
Misalnya:
“mmmmm”
a-ha
ya.
Jadi
Ibumu?
Contoh dialog:
Klien : “saya
putus asa…dan saya nyaris…”(klien menghentikan pembicaraannya)
Konselor : “ya…
Klien : “nekad
bunuh diri”
Konselor:
“lalu…
Kelemahan :
Kesempatan konselor untuk berbicara
sangat minim karena klien akan banyak bercerita yang membuat si konselor hanya
menjadi pendengar saja.
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
Dari beberapa penjelasan di atas
dapatlah diketahui bahwa di dalam melaksanakan proses bimbingan dan konseling
seorang konselor memiliki tanggung jawab yang besar, sepertihalnya dipaparkan
di bab pembahasan di atas bahwa di dalam untuk dapat menyelesaikan permasalahan
yang di alami oleh klien seorang konselor harus memiliki teknik-teknik yang
digunakan mulai sejak awal pertemuan hingga akhir penyelesaianmasalah.
Dari pembahasan di atas dapat
diketahui bahwa di dalam proses penyelesaian permasalahan yang dialami klien,
memiliki banyak sekali teknik-teknik yang dapat digunakan, sehingga banyak
alternatif-alternatif ketika gagal di dalam penggunaan satu teknik, bisa
diganti dengan penggunaan teknik yang lain.
B. Saran
Dari kesimpulan di atas penulis
memberikan saran kepada para konselor, ataupun seorang guru pembimbing agar
dapat menguasai teknik-teknik di dalam proses bimbingan dan konseling karena
hal tersebut akan lebih mempermudah di dalam memperoleh informasi dari klien
serta di dalam mengajak klien untuk mempercayai apa-apa yang dikatakan oleh
konselor.
DAFTAR PUSTAKA
E.A. Munro, R.J. Manthei,J.J.
Small,penyuluhan(counselling)suatu Pendekatan Berdasarkan Keterampilan,
Jakarta: GHALIA INDONESIA, 1985
H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori
Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.
Sofyan S. Willis. 2004.Konseling
Individual; Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/15/teknik-khusus-konseling/
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/01/15/teknik-khusus-konseling/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar